The Champa Institute

Democracy and Social Justice

Tak Bisa Menjawab, Mata Murid Ditusuk Peniti

Posted by The Champa Institute on January 9, 2009

Jumat, 9 Januari 2009 | 07:38 WIB

RAIPUR,KAMIS — Seorang guru di Raipur, India, menusuk salah satu mata muridnya dengan peniti yang mengakibatkan kebutaan.

Polisi di negara bagian Chhattisgarh mengatakan, guru itu menusuk mata kanan seorang murid perempuan berusia enam tahun karena gagal menjawab pertanyaannya di kelas. Guru tersebut, ujarnya, akan dijatuhi hukuman dengan percobaan pembunuhan.

“Itu adalah sebuah tindakan yang sangat tidak berprikemanusiaan dan aksi brutal,” kata TR Koshima, petugas polisi senior di negara bagian India tengah tersebut, Kamis (8/1).

Sayangnya, laporan peristiwa penusukan mata tersebut ke polisi sangat terlambat. Guru sebagai pelaku melarikan diri pascakejadian tersebut, akhir November 2008. Koshima mengatakan, polisi baru menerima laporan pada Rabu (7/1). “Kami akan mengambil tindakan keras,” katanya.

Sementara itu, pemerintah mengatakan akan membiayai semua biaya pengobatan dan meminta polisi untuk meningkatkan pencarian guru tersebut.

sumber:http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/09/07385250/tak.bisa.menjawab.mata.murid.ditusuk.peniti

Posted in beritadikoran | 1 Comment »

PGRI Minta Gaji Guru Diatur Terpisah

Posted by The Champa Institute on September 14, 2008

 Sabtu, 13 September 2008 | 14:51 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta :Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dapat diatur terpisah dari Pegawai Negeri Sipil. “Seperti kepolisian yang punya struktur tersendiri,” ujar Ketua Persatuan Soelistyo ketika dihubungi Tempo, Ahad (13/9).

Pemisahan itu, kata Soelistiyo, diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan guru. Alasannya, karena karakteristik tugas guru tidak bisa disamakan dengan Pegawai Negeri Sipil lainnya.

Dia mencontohkan, Guru memiliki tugas tambahan, antara lain, harus merencanakan pelajaran dari rumah. “Ketika pulang pun, guru juga masih mengkoreksi PR muridnya,” tandasanya.

Sehingga, kecemburuan pegawai negeri lain dengan dalih jam kerja guru kurang dari 40 jam seminggu tidak berdasar. Terlebih, Undang-Undang Guru dan Dosen no 14 tahun 2005, juga mewajibkan guru untuk meningkatkan kemampuannya.

Dengan demikian, guru wajib untuk membeli buku, melanjutkan sekolah, atau mengikuti pelatihan. Selistiyo mengakui draf anggaran pendidikan Departemen sudah mengakomodasi kepentingan guru sesuai dengan undang-udang itu.

Sebelumnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, telah membuat formulasi kenaikan gaji guru. Dalam formulasi itu disebutkan, seorang guru minimal harus mengajar 24 jam dalam seminggu.

Dianing Sari

Sumber:http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2008/09/13/brk,20080913-135282,id.html

Posted in Pendidikan | Leave a Comment »

Menuju Indonesia Makmur dan Sejahtera

Posted by The Champa Institute on September 13, 2008

Jakarta,  11 September 2008
Kiprah Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI

Pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di kawasan-kawasan yang tertinggal. Pemihakan terhadap rakyat di kawasan itu adalah suatu keniscayaan dan harus dilakukan demi keadilan.

Saat ini terdapat 199 daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Daerah seperti itu tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara serta sebagian kecil berada di Pulau Jawa dan Bali.

Berdasarkan sebaran wilayahnya, sebanyak 123 kabupaten atau 63 persen daerah tertinggal berada di kawasan timur Indonesia (KTI), 58 kabupaten (28%) di Pulau Sumatera, dan 18 kabupaten (8%) di Jawa dan Bali.

Sebanyak 2.717 desa atau perkampungan yang ada di Sumatera Utara tergolong desa atau perkampungan tertinggal. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.899 terletak di kawasan yang bukan tertinggal dan 800 lebih berada di kawasan yang memang tertinggal.

Penyebab ketertinggalan tersebut masih didominasi persoalan infrastruktur jalan yang menghubungi daerah tersebut dengan dunia luar. Kondisi ini diperparah jalan di Sumatera Utara yang rusak berat.

Dari 199 kabupaten yang dikategorikan daerah tertinggal, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 – 2009, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) sudah berhasil menjadikan sebanyak 28 kabupaten keluar dari ketertinggalannya dan telah berhasil mengintervensi sebanyak 30 kabupaten dan diharapkan dapat lepas dari ketertinggalannya pada tahun 2008.

Untuk operasional kebijakan, KPDT memiliki instrumen yang terdiri dari:

  1. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus;
  2. Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal;
  3. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal;
  4. Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal;
  5. Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan; dan
  6. Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal.

Dalam rangka memfokuskan pembangunan di daerah tertinggal, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal juga menyusun program prioritas yang dinamakan Green Development, meliputi:

  • Green Energy, difokuskan pada desa yang tidak terjangkau PLN;
  • Green Estate, penanaman tanaman tahunan terutama karet, dan kelapa sawit untuk kebun-kebun rakyat miskin;
  • Green Bank, pendirian Lembaga Keuangan Mikro di perdesaan;
  • Green Movement, untuk penguatan kelembagaan masyarakat di perdesaan; dan
  • Green Belt, penanganan daerah sepanjang garis perbatasan.

 

(SBS/Biro Hukum dan Humas Sekretariat Kementerian PDT)

Sumber:http://ads2.kompas.com/layer/kpdt/index.php/news/read/161/Menuju%20Indonesia%20Makmur%20dan%20Sejahtera

Posted in beritadikoran | Leave a Comment »

Anggaran Pendidikan Tersedot ke Birokrasi

Posted by The Champa Institute on September 6, 2008

Sabtu, 6 September 2008 | 00:18 WIB

Jakarta, Kompas – Peningkatan anggaran pendidikan nasional yang mencapai 20 persen dari APBN pada 2009 nanti jangan tersedot untuk birokrasi. Karena itu, penggunaan anggaran yang mencapai sekitar Rp 224 triliun harus diawasi masyarakat agar program-program pendidikan yang dibuat pemerintah berpihak kepada rakyat kecil, bukan kepada birokrasi.

”PGRI bersedia, dengan komponen bangsa lainnya, melakukan pengawasan eksternal pemanfaatan anggaran pendidikan supaya tidak bocor dan mubazir. Mekanisme pengawasan ini kami serahkan kepada pemerintah untuk mengaturnya,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo seusai pertemuan dengan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid di Jakarta, Jumat (5/9).

PGRI, kata Sulistiyo, meminta pemerintah untuk memfokuskan anggaran pendidikan guna perbaikan sekolah rusak, pengadaan buku bermutu, penyediaan sarana pendidikan, sekolah gratis untuk pendidikan dasar, serta peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan guru.

Berdasarkan kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), sebanyak 60-70 persen dari APBN 2007 terkuras untuk biaya birokrasi pemerintah, legislatif, dan aparat hukum. Adapun Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) Depdiknas, misalnya, hanya mencadangkan 15 persen, atau Rp 7,5 triliun, dari Rp 51,3 triliun anggarannya untuk rehabilitasi sekolah, beasiswa, dan perpustakaan. Sisanya untuk program yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan pendidikan, seperti administrasi kepegawaian, sarana dan prasarana kantor, serta perjalanan dinas.

Komitmen kuat

Hidayat Nur Wahid mengatakan, pemerintah harus mempunyai komitmen kuat untuk melaksanakan ketentuan perundang-undangan, termasuk yang berkaitan dengan pendidikan. ”Kesejahteraan negara ini bisa terwujud jika manusia Indonesia unggul. Ini butuh pendidikan yang berkualitas,” ungkap Hidayat.

Unifah Rosyidi, Wakil Ketua PB PGRI, mengingatkan agar pembenahan kualitas dunia pendidikan juga dilakukan dengan menempatkan birokrat yang berpengalaman dan berkomitmen di dunia pendidikan. ”Yang terjadi, pengangkatan kepada dinas pendidikan lebih pada mendukung bupati/wali kota, bukan pada keahliannya dalam pendidikan,” tutur Unifah.

Sulistiyo mendesak supaya pemerintah serius untuk mengimplementasikan Undang-Undang Guru dan Dosen yang sampai saat ini masih menimbulkan banyak persoalan di lapangan. Program sertifikasi diharapkan bisa adil dan fokus untuk pengembangan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan di Tanah Air. (ELN)

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00185855/anggaran.pendidikan.tersedot.ke.birokrasi

Posted in Pendidikan | Leave a Comment »

Pemilu 2009 Tentukan Generasi Baru Politik

Posted by The Champa Institute on August 28, 2008

Demokrasi Masih Berlangsung di Bawah Tekanan Prosedural

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images
Wakil Presiden Jusuf Kalla, didampingi Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama (kiri), berbincang dengan pimpinan partai politik dan tokoh politik. Mereka, antara lain (searah jarum jam), Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, dan Ketua Umum Partai Partai Persatuan Daerah Oesman Sapta, dalam acara “Kompas Political Gathering” di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (27/8).

Kamis, 28 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas – Pemilu 2009 adalah babak baru bagi bangsa Indonesia dan merupakan ajang terakhir bagi politisi senior yang ada saat ini. Hasil Pemilu 2009 akan menentukan generasi politik baru. Namun, oligarki partai politik masih berlangsung dan bergerak menuju masa depan Indonesia sekurang-kurangnya sampai 2015.

Demikian diingatkan pakar politik Daniel Dhakidae pada ”Kompas Political Gathering” di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (27/8) malam. Pertemuan itu dihadiri sejumlah pemimpin partai, antara lain Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali, Ketua Umum Partai Bintang Reformasi (PBR) Bursah Zarnubi, Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Damai Sejahtera (PDS) Ruyandi Hutasoit, Ketua Umum Partai Barisan Nasional (Barnas) Vence Rumangkang, Ketua Umum Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) S Roy Rening, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Choirul Anam, dan Ketua Umum Partai Persatuan Daerah (PPD) Oesman Sapta.

Hadir pula Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Hamdan Zoelva, Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Pramono Anung Wibowo, Sekjen Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) Didik Supriyanto, Sekjen Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) Eddy Danggur, Sekjen Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI) Zulvan Lindan, dan fungsionaris Partai Demokrat Andi A Mallarangeng.

Kesempatan terakhir

Daniel mengingatkan, Pemilu 2009 menjadi kesempatan terakhir bagi sejumlah tokoh nasional untuk mencalonkan diri. ”Pemilu 2009 bisa disebut sebagai kesempatan terakhir bagi Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan siapa saja. Karena itu, akan memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya,” katanya. Hampir semua aktivis dan politikus yang memegang peran dalam politik dan birokrasi nasional pada periode Orde Baru akan mengakhiri peranannya itu.

”Pemilu mendatang akan menjadi ajang yang sangat menarik bagi pengamat dilihat dari pertarungan idenya,” ujarnya.

Namun, menurut Daniel, partai politik tetap akan menjadi kendaraan, sedangkan calon perseorangan, baik dalam pemilihan nasional maupun pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten, tidak akan mendapatkan tempat.

Sebelumnya, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama saat membuka acara itu mengingatkan, demokrasi yang berlangsung saat ini masih berada di bawah tekanan prosedural. Artinya, proses dan cara sudah mengikuti proses demokrasi, tetapi belum menyentuh substansi demokrasi. ”Demokrasi tidak sekadar kebebasan dan pesan dari rakyat dan oleh rakyat, tetapi demokrasi juga melihat keadilan sosial dan ekonomi,” ujarnya.

Bagaimanapun, Jakob berharap, proses demokrasi bisa berlangsung ke arah yang lebih mapan. Apalagi, pemilu mendatang merupakan pemilu kedua setelah reformasi, yang memang diharapkan dapat memunculkan demokrasi yang lebih matang.

Jakob juga mengakui, Pemilu 2009, khususnya pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD (legislatif) pada 9 April 2009, memiliki nilai strategis bagi bangsa Indonesia karena hasil pemilu legislatif itu akan menentukan pemilihan presiden-wakil presiden 2009.

”Dari sisi tahapan demokrasi, Pemilu 2009 sangat menentukan apakah bangsa Indonesia mampu mengonsolidasikan demokrasi dan kemudian maju selangkah menuju negara dengan demokrasi yang matang, atau tetap bertahan sebagai negara yang sedang menuju demokrasi,” ujar Jakob. Pemilu 2009 sangat menentukan status Indonesia dalam jajaran negara demokratis di dunia.

Jakob mengakui, sebagian besar warga negara dalam berbagai survei puas dengan bekerjanya sistem demokrasi dan pelaksanaannya di Indonesia. Namun, ketika demokrasi prosedural gagal mewujud menjadi demokrasi substansial, demokrasi yang langsung menjawab dan mencari solusi atas permasalahan riil bangsa, gugatan akan praktik demokrasi itu akan selalu muncul.

”Gugatan akan sistem politik demokrasi akan selalu muncul ketika hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak terpenuhi, sementara yang mengedepan hanya hak sipil dan politik. Sistem politik demokrasi akan selalu memunculkan gugatan saat rakyat tetap melarat, pengangguran tetap membengkak, rakyat tak memiliki daya beli, dan rakyat tak merasakan kehadiran negara ketika berada dalam kesulitan,” kata Jakob Oetama lagi.

Masyarakat horizontal

Pakar pemasaran Hermawan Kartajaya mengingatkan, pemilu adalah politik pemasaran (marketing) dan kini masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang horizontal. ”Kondisi masyarakat Indonesia tahun 2008 sangat berbeda dengan kondisi masyarakat tahun 1998. Kondisi sekarang sangat horizontal. Karena itu, strategi marketing partai sekarang juga harus berbeda dengan cara menghadapi masyarakat Indonesia tahun 1998,” ujarnya.

Secara umum, Hermawan mengatakan, yang terpenting dalam marketing adalah positioning, diferensiasi, dan merek. Jika itu bisa dilakukan, partai akan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. ”Kita berada dalam masyarakat yang sejajar. Jadi, harus terjun langsung. Kita harus tahu siapa pesaing dan pelanggan sehingga tahu harus berbuat yang terbaik,” ujarnya. (MAM/TRA)

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/28/01590855/pemilu.2009.tentukan.generasi.baru.politik

Posted in beritadikoran | 1 Comment »

Sikap dan Suara Kaum Intelektual

Posted by The Champa Institute on August 25, 2008

Sabtu, 29 Maret 2008 | 00:34 WIB

MT Zen

Ketahanan nasional adalah kemampuan suatu bangsa untuk dapat kembali sebagaimana keadaan semula dalam waktu relatif singkat setelah mengalami gangguan berat.

Itu adalah deskripsi yang amat umum. Karena itu, masih memerlukan penjelasan lebih rinci. Padanan dalam bahasa Inggris untuk kata ketahanan nasional adalah resilience: the ability to recover from (or to resist being affected by some shocks, insult, or disturbance). Meski demikian, pengertian resilience berbeda implikasinya bagi tiap kegiatan.

Pertanda malapetaka

Ketika semua unsur yang disebutkan itu menjadi amat rapuh, masyarakat kehilangan kepercayaan sosial dan harapan, pemerintah kehilangan wibawa. Derap langkah ketiga lembaga tinggi negara tidak lagi sinkron.

Tiap lembaga seolah mempunyai agenda masing-masing. KPK berseteru dengan Kejaksaan, BI bersilat dengan DPR, Mahkamah Agung dijuluki sarang mafia, DPR sering bertindak sebagai eksekutif, para menteri sering melontarkan keterangan yang membingungkan, seperti Menteri Perdagangan di tengah pasar mengatakan, mengoplos beras boleh-boleh saja. Jadi, mengoplos bensin atau solar, obat-obatan juga boleh? Mana yang benar? Apa yang dapat dan harus dijadikan pegangan atau patokan? Masyarakat yang sehat harus tahu apa yang salah dan benar, membedakan antara buruk dan baik.

Akhir tahun ini Indonesia akan menghadapi krisis besar, khususnya dalam hal listrik, pangan, dan infrastruktur. Beberapa pekan lalu CNN menyiarkan berita, Thailand kebanjiran pesanan beras dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia. Infrastruktur Indonesia pun menghadapi keadaan amat suram, jalur pantura, penyeberangan Merak-Bakauheni, dan lainnya.

Dilihat dan direnungkan

Hujan yang sedang-sedang saja lebatnya selama dua hari sudah cukup untuk melumpuhkan DKI Jakarta dan Bandara Soekarno- Hatta selama tiga hari. Para penumpang telantar selama tiga hari tanpa informasi yang jelas. Semua ini terjadi pada awal tahun Visit Indonesia Year 2008.

Bahkan, Presiden Yudhoyono pun harus ”diselamatkan” ke kendaraan lain, bukan di hutan Kalimantan atau Papua, tetapi di tengah kota di Jalan Thamrin yang letaknya hanya sejengkal dari istana negara. Lihat, betapa tidak berdayanya Indonesia. Hal seperti ini tidak bisa disembunyikan dari rakyat yang sudah dapat berpikir sehat dan kritis. Tidak perlu perang. Dihujankan saja selama seminggu, Indonesia pasti sudah menyerah.

Harga kedelai di-”pelintir” sedikit oleh para pedagang luar, pengusaha dalam negeri sudah ”kelimpungan”. Keluarlah berbagai keterangan tentang program dan proyek penanaman kedelai di sana-sini.

Tidak bisa dibohongi

Menghadapi masalah beras, kedelai, dan lainnya, rakyat tahu, Departemen Pertanian tak berdaya. Kini masalah kedelai seolah sudah hilang, apakah masalah sebenarnya sudah terurai? Tentu tidak.

Seusai heboh kedelai, menyusul harga minyak goreng, minyak tanah, telor, daging, dan lainnya. Semua melonjak bukan hanya 5-10 persen, tetapi hingga 20-30 persen. Para ibu panik. Namun, siapa yang peduli?

Sudah tiga pekan ini sebagian dari Jawa Timur terendam banjir karena luapan Bengawan Solo. Siapa yang peduli? Menyebut saja tidak lagi. Idem dito dengan masalah lumpur Lapindo. Ribuan orang terpaksa mengungsi berbulan-bulan, bahkan ada yang lebih dari setahun, demo demi demo dilakukan untuk menuntut haknya. Siapa peduli?

Di antara begitu banyak demo, sudah ada yang menuntut diturunkannya harga sembako. Masih ingatkan kita, pada tahun 1965 para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menuntut agar harga beras diturunkan dan PKI dibubarkan? Namun, di kalangan atas sana tetap adem ayem, seperti tidak terjadi apa-apa.

Tak ada yang istimewa

Mari kita menyimak buku-buku sejarah. Kita perlu mempelajari makna sejarah. Pesan Revolusi Perancis, Rusia, China, Kuba, Iran, dan lainnya.

Bagi yang melihat dan peka terhadap penderitaan rakyat, semua pertanda itu sudah cukup. Tiada hari tanpa unjuk rasa yang lebih sering berakhir dengan kericuhan dan perusakan. Baik demo yang memprotes hasil pilkada, ketidakadilan petinggi setempat, maupun sepak bola, semua berakhir dengan kebiadaban.

Semua gejala itu menandakan, rakyat sudah tidak lagi senang dan percaya kepada penguasa. Semua mengarah ke event kekacauan yang meminta biaya sosial amat tinggi. Lihat apa yang terjadi di Kenya; kekacauan besar; negara terbelah menjadi 10-15 banana republics dan bangsa Indonesia bakal terhapus dari peta dunia. Atau, tidak terjadi apa-apa, tetapi pelan dan pasti, RI perlahan-lahan bakal tenggelam ke dalam kemiskinan dan kenistaan. Skenario kedua ini paling menakutkan. Suatu revolusi, meski meminta darah dan jiwa, mungkin akan membawa solusi yang baik. Skenario kedua itu tidak membawa perbaikan akibat kemiskinan yang amat sangat.

Suara kaum cerdik pandai

Di tiap negara selalu ada tiga pilar yang mencirikan arah perkembangan negara itu, yakni politisi, wirausahawan, dan kaum intelektual. Yang terakhir ini selalu berfungsi untuk menyuarakan nurani rakyat. Lihat peran kaum encyclopaedists menjelang Revolusi Perancis, the Fabian Society di Inggris, dan pejuang Indonesia sebelum Revolusi Indonesia. Menjelang runtuhnya Orde Lama, muncul kelompok perjuangan baru.

Masyarakat harus menyadari, pada kelompok intelektual itu terpendam kekuatan yang amat dahsyat. Pada saat krisis, suatu kultur yang sehat secara moral selalu dapat memobilisasi semua tata nilai, harga diri, dan semangat juangnya untuk dapat mempertahankan cita-cita moralitas yang mereka junjung. Yang diperjuangkan mati-matian bukan sekadar masalah ekonomi, masalah HAM, demokrasi, dan lainnya, tetapi masalah penyelamatan bangsa dari proses penghancuran diri secara menyeluruh.

Pada saat ini kaum intelektual, masyarakat kampus, dan profesional harus membuat satu front untuk menyuarakan nurani rakyat, memberi alternatif solusi. Agar tidak sia-sia bekerja, berbagai kelompok itu tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi membuat suatu gerakan yang tidak hanya bergerak satu kali, tetapi gerakan berlanjut, menyertakan semua kelompok yang peduli kepada nasib bangsa.

MT Zen Guru Besar ITB

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/29/00341614

Posted in Opini | Leave a Comment »

Putusan KPU Bingungkan Pemilih

Posted by The Champa Institute on August 18, 2008

Peserta Pemilu Bertambah 4 Parpol

KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images
Para ketua umum dan sekjen empat parpol yang berhak ikut Pemilu 2009 sesuai putusan PTUN Jakarta menunjukkan nomor urut parpolnya saat pengundian di kantor KPU, Jakarta, Sabtu (16/8). Parpol-parpol itu adalah peserta Pemilu 2004 yang tak memiliki kursi di DPR.

Senin, 18 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas – Keputusan Komisi Pemilihan Umum atau KPU menetapkan empat partai politik peserta Pemilihan Umum 2004 sebagai peserta susulan Pemilu 2009 berpotensi membingungkan pemilih. Sikap itu menunjukkan lemahnya KPU menghadapi tekanan dari parpol pula. Padahal, KPU masih memiliki peluang hukum untuk mempertahankan putusan sebelumnya.

Penilaian itu disampaikan Ketua Badan Pengawas Pemilu 2009 Nur Hidayat Sardini di Jakarta, Minggu (17/8). ”Paling tidak, pemilih di luar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam akan bertanya, bahkan bingung, karena urutan parpol peserta pemilunya melompat. Apalagi, keputusan ini tidak diikuti dengan sosialisasi,” ujarnya lagi.

Sabtu lalu, KPU memutuskan melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta serta menetapkan Partai Buruh, Partai Merdeka, Partai Sarikat Islam (PSI), dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) sebagai peserta Pemilu 2009. Keempatnya adalah partai peserta Pemilu 2004 yang tidak memiliki kursi di DPR.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) juga membatalkan Pasal 316 (d) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang memberikan keistimewaan kepada partai peserta Pemilu 2004 yang memiliki kursi di DPR, meski tak memenuhi ketentuan ambang batas perolehan suara (electoral threshold), berhak mengikuti Pemilu 2009.

Sosialisasi kurang

Nur Hidayat mengakui, selama ini banyak keputusan KPU belum disosialisasikan dengan baik, termasuk cara pemberian suara. Tahapan Pemilu 2009 belum terlaksana sebagaimana semestinya pula. Dengan menetapkan peserta susulan Pemilu 2009, KPU semakin menyulitkan dan membingungkan pemilih.

Maret lalu, KPU menetapkan 34 parpol sebagai peserta Pemilu 2009 tingkat nasional dan enam parpol lokal di Aceh. Di tingkat nasional, nomor urut parpol adalah 1-34 dan 35-40 untuk parpol lokal Aceh. Sabtu, keempat parpol peserta Pemilu 2009 baru itu memakai nomor urut 41-44. ”Ini dapat mempersulit dan membingungkan pemilih. Apalagi, selama ini sosialisasi dari KPU kurang,” kata Nur Hidayat.

Anggota KPU, Andi Nurpati, di Jakarta, Jumat malam, mengatakan, rapat pleno KPU memutuskan menghormati keputusan PTUN. Karena itu, KPU menetapkan keempat partai itu sebagai peserta pemilu.

Nur Hidayat menegaskan, memang di satu sisi KPU bisa dinilai menghargai putusan hukum. Namun, sebelumnya KPU melakukan ”perlawanan” saat MK membatalkan Pasal 316 (d) UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang memungkinkan keempat partai itu mengikuti pemilu. Keempat partai itu akhirnya mengajukan gugatan ke PTUN.

Selain empat partai itu, PTUN Jakarta juga memutuskan Partai Republiku Indonesia berhak mengikuti Pemilu 2009. Namun, KPU belum menentukan sikap atas putusan itu. Nur Hidayat menyarankan KPU mengajukan banding. (tra)

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/18/00141236/putusan.kpu.bingungkan.pemilih

Posted in Politik | Leave a Comment »

Kami Bangsa Indonesia?

Posted by The Champa Institute on August 18, 2008

Senin, 18 Agustus 2008 | 00:28 WIB

Makmur Keliat

Tahun 1945—63 tahun lalu—penduduk negeri ini diperkirakan 70 juta jiwa. Kini, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 210 juta jiwa.

Pertambahannya mencapai tiga kali lipat. Hampir bisa dipastikan pertambahan jumlah ini juga diiringi pertambahan warga yang telah mengenyam pendidikan tinggi. Tidak hanya yang menyelesaikan S-1, tetapi juga yang menyelesaikan S-2 dan S-3. Namun, pertambahan penduduk terdidik itu tampaknya tidak membuat negeri ini memiliki pemimpin yang lebih berani dan tegas dibandingkan pendahulunya.

Dokumen dan monumen

Enam puluh tiga tahun lalu, kepemimpinan nasional negeri ini memiliki karakter dan watak patriotik yang amat kuat. Karakter itu tampak dari keberanian mengambil tindakan dan membuat keputusan. Diawali pernyataan ”kami bangsa Indonesia”, Soekarno dan Hatta, dalam kalimat awal proklamasi telah membebaskan rakyat negeri ini dari cengkraman kolonialisme.

Pernyataan ”kami bangsa Indonesia” dalam kalimat awal proklamasi itu tidak sekadar dokumen, tetapi juga sebuah monumen. Ia tidak sekadar pernyataan hukum untuk membuat negeri ini memiliki konstitusi, tetapi juga suatu simbol identitas.

Identitas itu adalah kelahiran negara dan bangsa ini yang sejak awal tidak mensyaratkan adanya keharusan untuk berunding dengan negara lain. Secara historis, kemerdekaan negeri ini juga tidak mensyaratkan keharusan untuk mendapatkan persetujuan pihak lain. Apakah pihak luar setuju atau tidak bukan merupakan pertimbangan penting saat itu. Namun, mengapa watak dan karakter keberanian yang melekat dalam pernyataan ”kami bangsa Indonesia” itu kini tampak lenyap seperti disapu angin?

Beberapa contoh ini bisa mengilustrasikan hilangnya semangat keberanian itu.

Satu dasawarsa lalu saat kita mengalami krisis finansial, secara faktual otoritas fiskal negeri ditentukan oleh berbagai instruksi kebijakan yang diarahkan Dana Moneter Internasional. Begitu pula pengelolaan sumber daya alam, baik energi maupun barang tambang. Hingga kini tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk melakukan perubahan substansial atas kontrak-kontrak dengan pihak luar guna mengatasi krisis energi yang kita hadapi.

Sejauh yang dapat dicatat, pemecahan krisis energi hanya dipahami dari keterkaitannya dengan beban anggaran di APBN. Kebijakan ekonomi lalu terpusat pada upaya bagaimana mengamankan kantong keuangan pemerintah, bukan mengamankan kantong pendapatan rakyat.

Contoh lain, larinya uang hasil korupsi. Sejauh ini, tidak ada tekanan politik apa pun terhadap negeri tetangga yang menjadi tempat penyimpanan pelarian uang itu. Contoh terbaru lainnya adalah ketidakmampuan pemerintah untuk bersikap terhadap pelarangan penerbangan pesawat nasional Garuda ke Eropa.

Mungkin terdengar sarkastik jika dinyatakan, 63 tahun setelah pernyataan kemerdekaan, sebagian besar pemimpin dan elite politik negeri ini telah menyimpang, tidak peduli, atau telah mengkhianati roh pernyataan ”kami bangsa Indonesia” itu.

Namun siapakah yang berani membantah pernyataan, kemerdekaan Indonesia sebenarnya didorong pengalaman pahit dan getir yang dirasakan anak negeri ini selama ratusan tahun? Bukankah masa kolonial telah menyampaikan pesan amat jelas?

Eksploitasi ekonomi telah terjadi pada masa kolonial karena kebijakan ekonomi tidak dibuat secara otonom di negeri sendiri tetapi nun jauh di negeri lain. Kemerdekaan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 sebenarnya untuk memutus intervensi pihak luar dalam mengelola ekonomi negeri. Memutus intervensi bukan berarti memutus hubungan.

Nomokrasi dan telokrasi

Karena itu, tidak berlebihan jika dinyatakan, semangat patriotik ”kami bangsa Indonesia” dalam proklamasi kini menjadi tanda tanya besar. Salah satu penyebab adalah karena pemimpin negeri ini tidak utuh memahami mengapa kita bernegara dan berbangsa. Pemimpin negeri ini cenderung memahami kebutuhan bernegara dan berbangsa hanya pada aspek adanya seperangkat aturan hukum (nomocracy) dan mengabaikan pentingnya pencapaian hak-hak sosial dan kesejahteraan rakyatnya (telocracy).

Nomokrasi bukan tidak penting. Namun, dalam konteks kebijakan ekonomi nasional, pemahaman seperti ini telah mengakibatkan pengurangan peran negara dalam pengelolaan sumber daya ekonomi, pemihakan terhadap kepentingan badan usaha swasta skala besar, mencabut ”roh” keadilan yang melekat dalam pembentukan negara sekaligus menyatakan subsidi sebagai suatu kata yang ”jahat” dalam pengelolaan ekonomi nasional.

Kentalnya semangat nomokrasi dan memudarnya semangat telokrasi menguat saat demokrasi yang kita jalankan dalam satu dasawarsa terakhir hanya dipahami sebatas makna prosedural. Karena itu, demokrasi lalu dianggap hadir jika kita memiliki aturan hukum yang melembagakan pemilihan umum yang ajek, memiliki sistem politik dengan banyak partai, dan adanya kebebasan mengemukakan pendapat.

Di luar hal-hal prosedural itu, demokrasi sulit diharapkan untuk memperbaiki nasib puluhan juta rakyat tertinggal. Sejauh ini, ia hanya menghasilkan pergandengan tangan antara kartel politik (melalui partai politik) dan kartel ekonomi (kelompok usahawan besar).

Sebagaimana halnya kartel di mana pun, secara numerik jumlah yang terlibat amat sedikit dan meninggalkan puluhan juta warga di belakangnya. Jika enam puluh tiga lalu ada kebanggaan amat besar dengan pernyataan ”kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”, kini masihkah para pemimpin negeri ini berani mengangkat kepala dengan bunyi pernyataan itu?

Makmur Keliat Pengajar FISIP Universitas Indonesia

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/18/00280128/kami.bangsa.indonesia

Posted in Opini | Leave a Comment »

Guru Diprioritaskan

Posted by The Champa Institute on August 18, 2008

Setengah Anggaran Pendidikan untuk Kesejahteraan Guru
Senin, 18 Agustus 2008 | 01:02 WIB

Jakarta, Kompas – Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menginstruksikan agar alokasi terbesar dana pendidikan sebesar 20 persen dari total belanja negara di APBN 2009 ditujukan untuk kesejahteraan guru.

Dari total Rp 224 triliun lebih, setengahnya bakal dimanfaatkan untuk kesejahteraan guru yang berada di daerah. Selanjutnya, sebagian besar lagi akan digunakan untuk penuntasan program wajib belajar sembilan tahun di SD dan SMP, perbaikan kesejahteraan peneliti, dan peningkatan mutu sekolah menengah kejuruan (SMK). Apabila masih ada sisa anggaran, baru digunakan untuk program pendidikan lainnya.

Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan hal itu saat memberikan sambutan pada acara silaturahmi Ibu Negara Ny Ani Bambang Yudhoyono dengan para guru daerah khusus, guru luar biasa dan pendidik, serta tenaga kependidikan pendidikan nonformal tingkat nasional tahun 2008 di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (16/8).

Menurut Bambang, bagian terbesar dana pendidikan yang totalnya mencapai Rp 224 triliun lebih justru ke daerah, yakni melalui dana alokasi umum (DAU). Dana itu digunakan untuk pembayaran gaji guru.

Bambang mengakui, dengan alokasi dana yang sangat besar itu, pengawasan secara intensif dan berlapis-lapis harus dilakukan. ”Dengan alokasi dana yang sudah 20 persen ini, tidak ada alasan lagi untuk melakukan pungutan kepada murid seperti di SD dan SMP,” ujarnya.

Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Harry Azhar Azis mengatakan, pemerintah hanya memiliki tiga pilihan untuk mengejar target penambahan anggaran pendidikan 20 persen, yakni penghematan anggaran subsidi energi, menambah defisit APBN, atau mengulang kembali pengetatan anggaran di kementerian dan lembaga nondepartemen. (HAR/OIN/ILO)

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/18/01025565/guru.diprioritaskan

Posted in Pendidikan | Leave a Comment »

Tan Malaka, Sejak Agustus Itu

Posted by The Champa Institute on August 17, 2008

Senin, 11 Agustus 2008

SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.

Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.

Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”–apalagi sebuah ”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”.

Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno, adalah ”menjebol dan membangun”. Wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut ”Hindia Belanda” jebol, berantakan. Dan ”kami, bangsa Indonesia” kian menegaskan diri.

Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru orang mara berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan ”kemerdekaan” mereka, ”Indonesia” mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu.

Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini ”Hindia Belanda” kembali. Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah revolusi besar sedang terjadi, ”revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka….”.

Walhasil, sebuah subyek (”jiwa merdeka”) lahir. Agaknya itulah makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi ”tulang yang berserakan, antara Krawang dan Bekasi”, seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua kita hafal. Subyek lahir sebagai sebuah laku yang ”sekali berarti/sudah itu mati”, untuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero.

Dalam hal ini Tan Malaka benar: ”Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.”

Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926. Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya pula, ”Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.”

Itulah Revolusi Agustus.

Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai ”hero” atau ”pelopor”. Sebab tiap revolusi digerakkan oleh sebuah atau sederet pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia butuh ditentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.

Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus ”belum selesai”, mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut ”Re-So-Pim”: Revolusi-Sosialisme-Pimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya ”teori”, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni ”Pemimpin Besar Revolusi”.

Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya ”satu partai yang revolusioner”, yang bila berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran ”pimpinan”.

Bahwa ia percaya kepada revolusi yang ”timbul dengan sendirinya”, hasil dari ”berbagai keadaan”, menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika: di satu sisi, perlunya ”teori” atau ”kesadaran” tentang revolusi sosialis; di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Malaka) ”pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”.

Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu menghantui agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.

 

l l l 

TAK begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan bergaung.

Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah Banten, Tan Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh kiri radikal di bawah tanah itu berembug dengan sang tokoh sosial demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial-demokrat sejenis Yudas.

Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis —orang yang menyatakan pernah dapat perintah Presiden Soekarno untuk menangkap Tan Malaka—dalam pertemuan di Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari pengaruh Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.

Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia juga menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih dulu sebelum ambil sikap.

Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Inggris, dalam jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah perselisihan: sang ”radikal” tak cocok dengan sang ”pragmatis”.

Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang ”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosialis”.

Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengah-kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”.

Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal—bahkan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan kendali Negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa seperti garis yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah.

Tapi Sjahrir, sang ”pragmatis”, juga benar: pengaruh Tan Malaka di kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia memang alot. Di sini ”pragmatisme” Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena ”berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan ”otak yang luar biasa”.

Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti ”berbagai keadaan” di luar dirinya? György Lukács, pemikir Marxis yang oleh Partai Komunis pernah dianggap menyeleweng itu, membela dirinya dalam sebuah risalah yang dalam versi Jerman disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam.

Dari sana kita tahu, Lukács pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia mengecam ”chvostismus”. Kata ini pernah dipakai Lenin untuk menunjukkan salahnya mereka yang hanya ”mengekor” keadaan obyektif untuk menggerakkan revolusi. Bagi Lenin dan bagi Lukács, revolusi harus punya komponen subyektif.

Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia obyektif; ada interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusioner dan ”berbagai keadaan” di luar dirinya. Tapi, kata Lukács, di saat krisis, kesadaran revolusioner itulah yang memberi arah. Penubuhannya adalah Partai Komunis.

Tapi seberapa bebaskah ”kesadaran revolusioner” itu dari wacana yang dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis hingga bisa jadi subyek yang tanpa cela, sesosok hero?

Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah ”lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili ”borjuis kecil” itu. Ia tak akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.

Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat yang menentukan, tatkala militer dan partai ”borjuasi kecil” yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.

Terkurung di bawah wacana ”persatuan nasional”, agenda radikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang mewakili sebuah minoritas—yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum ”Pan-Islamis”—yang bagi kaum komunis adalah bagian dari ”borjuasi”—guna mengalahkan imperialisme.

Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia muncul menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah makhluk legenda.

Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.

Jakarta, 7 Agustus 2008.

Goenawan Mohamad

Sumber:http://www.tempointeraktif.com/hg/caping//2008/08/11/mbm.20080811.CTP127899.id.html

Posted in Politik | Leave a Comment »